CSR Bukan Basa-basi

Oleh
Ariyanto

Ini sisi lain dari banjir bandang yang menerpa ibu kota awal Februari lalu. Di sejumlah titik berdiri posko banjir. Ada posko Santa Maria, RS Hermina, Otista, Jati baru, Petamburan, Kelapa Gading dan sederet nama lain. Beberapa operator telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, dan XL mendirikan posko bantuan. Menariknya, beberapa partai juga berusaha menarik simpati dengan cara serupa. Tentunya tidak lupa menyertakan berbagai atribut partai.
Di posko ini, masyarakat mendapat bantuan berupa mi instan, air mineral, dan kebutuhan lainnya. ’’Ini merupakan bentuk kepedulian Partai Hanura terhadap warga Jakarta,’’ ujar Sekretaris Jenderal Partai Hanura H Yus Usman Sumanegara kepada Tarmi, perwakilan warga RW 08, kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Begitu pula posko Telkomsel. Menurut Rahmawati, petugas posko Telkomsel di Otista Raya, aksi itu juga sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat yang mengalami bencana banjir. ’’Ini bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) kami,’’ ucapnya.
Membuka posko banjir hanyalah salah satu model CSR atau pertanggungjawaban sosial perusahaan. Masih banyak kreasi lainnya. Sebut saja memberikan beasiswa pendidikan, membangun rumah dan sekolah yang rusak akibat gempa dan banjir, memberikan pelayanan kesehatan, hingga memberikan pelatihan safety riding dan kewirausahaan.
Ya, CSR yang merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat ini biasanya melalui tiga jalur. Yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun CSR bukan semata kegiatan berwujud sosial. CSR juga kegiatan pengembangan masyarakat. Tapi umumnya, CSR bertujuan menjaga citra bahwa perusahaan memiliki kompeten tinggi terhadap masyarakat.
Kini perusahaan tak bisa hanya mendapatkan profit dari program CSR. Keuntungan perusahaan tidak bisa diambil sepenuhnya. Perusahaan harus mengembalikan tidak hanya melalui pajak, melainkan juga harus take and give antara masyarakat.
Namun, CSR bisa dibuat menyimpang. Di Eropa, misalnya, ada perusahaan yang memiliki program CSR. Biaya pelaksanaan dari program CSR hanya satu berbanding sepuluh dengan biaya promosi program tersebut. Jadi biaya promosi lebih besar dari program CSR-nya sendiri, dengan biaya pelaksana USD 1 juta dan biaya promosi USD 10 juta.
Menurut pengamat CSR dari UI DR Hanneman Samuel, CSR tidak untuk mematikan perusahaan. Hubungan antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat harus seimbang. Kalau tidak seimbang pihak pemerintah akan mengabaikan tanggung jawabnya kepada masyarakat, khususnya masalah kesejahteraan. Sedangkan jika terjadi ketidakseimbangan kepada perusahaan, maka perusahaan akan membuat penyimpangan.
Terakhir kepada masyarakat. Kalau terjadi ketidakseimbangan, maka masyarakat akan merasa akan berbuat semena-mena. ’’Buktinya, di daerah kawasan industri yang membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar akan membuat masyarakat merasa memenuhi syarat jadi pegawai. Padahal, masyarakat tak memiliki kemampuan di bidangnya,’’ kata Samuel.
Hal senada diungkapkan Lya Anggraini, Communication Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI). Menurut Lya, program CSR akan membentuk hubungan baik antara perusahaan dan masyarakat. Perusahaan yang memiliki kandungan limbah sangat berbahaya, misalnya, maka perusahaan wajib menetralisasikan limbah berbahaya itu. ’’Awalnya perusahaan atau corporate hanya memikirkan keuntungan melalui program CSR-nya. Jika kondisinya seperti itu berarti belum dikatakan sebagai Social Responsibility. Bisa dibilang perusahaan belum membuka diri pada masyarakat,’’ ungkap dia.
Sementara itu, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menginginkan agar pemerintah melakukan regulasi. Pasalnya, dana yang dikeluarkan untuk CSR belum terlalu besar dibandingkan perolehan keuntungan. ’’Mestinya ada standar. Pemerintah yang harus melakukan ini. Biar tidak sporadis,’’ kata Tulus.
Ketika ditanyakan berapa persen idealnya nilai CSR, Tulus menjawab sepuluh persen. ’’Kalau sekarang kan tak lebih dari dua persen. Zakat saja kan harus dikeluarkan 2,5 persen hingga 10 persen. Jadi kalau ingin ’’bersih’’ ya segitu prosentasenya,’’ tutur dia.
Selain menyoroti prosentase yang masih terlalu kecil, Tulus juga mengkritisi CSR perusahaan yang lebih kepada promosi atau mengenalkan produk. Bantuannya tidak seberapa, tapi spanduk dan logo perusahaannya bertebaran di mana-mana. Seharusnya kedua hal itu dipisahkan.
’’Mestinya dana CSR itu dikelola pihak independen, sehingga si penerima tidak tahu siapa yang memberinya. ’’Dulu ada Dana Mitra Lingkungan. Yaitu, pengelola diri perusahaan-perusahaan besar untuk mengelola lingkungan hidup. Saya tidak tahu apa masih berjalan sampai sekarang. Kalau formalnya sih masih ada,’’ terang dia.
Terlepas dari CSR berbau promosi atau tidak, keberadaan Corporate Social Responsibility ini patut disambut gembira. Di tengah ketidakberdayaan dan keterbatasan pemerintah menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi dan pendidikan bangsa, keberadaan mereka sangatlah membantu. Penderitaan masyarakat yang terkena musibah dapat terkurangi. Anak bangsa bisa mengenyam pendidikan gratis melalui beasiswa pendidikan. Atau, menjadi wirausahawan melalui berbagai pelatihan.
Kalau pun toh berbau promosi, so what gitu lho? Bukankah tren CSR ini awalnya memang kreasi baru iklan ketika produk mereka kurang begitu menyentuh hati publik? Persoalannya di mana? CSR berbau promo atau tidak sama saja. Sama-sama promosi. Satu promosi terang-terangan, satu lagi promosi secara tidak langsung dalam diamnya itu.
Bagi saya, silakan saja memberi bantuan model tangan kanan memberi, tangan kiri tidak tahu atau memberi dengan terang-terangan dan dipublikasikan. Keduanya sama-sama mulia karena sesungguhnya tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Belomba-lombalah dalam hal kebaikan. Namun demikian, saya pikir regulasi juga perlu. Selain menghindari tindakan sporadis dan tak terarah, regulasi dapat menghindari penumpukan bantuan yang beredar kepada orang itu-itu saja. (*)

Terbit di Indo Pos, 14 Maret 2007

~ by ariyanto on 16 March 2007.

Leave a comment